Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×
Showing posts with label Tokoh Islam. Show all posts
Showing posts with label Tokoh Islam. Show all posts

Tuesday, November 5, 2013

BIOGRAFI SALAHUDDIN IBN AHMAD AL-ADLABI


Penulis telah mencari riwayat hidup beliau, mulai dari kelahiran, riwayat pendidikan dan karya-karya beliau, namun tidak banyak data atau informasi mengenai beliau. Hal ini menurut penulis, karena Salahuddin termasuk ulama yang kurang populer, karena Salahuddin lebih banyak berkonsentrasi pada hadis kaitannya dengan matan, yang dewasa ini, masih kalah perhatiannya dengan kajian sanad hadis.
Adapun informasi yang penulis dapat mengenai beliau, sedikit banyak terdapat pada majalah Ahmadiyah edisi ke-tiga. dalam majalah tersebut al-Adlabi memberikan ulasan mengenai permasalahan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat (Haml Yad al-Yumna ‘ala al-Yusra fi as-Shalah). Dalam tulisan itu dinyatakan bahwa al-Adlabi dengan nama lengkap Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi adalah seorang dosen pada Fakultas Dirasah al-Islamiyah Wa al-Arabiyah Dubai, juga menjadi pengajar di Universitas Imam Muhammad Su’ud al-Islamyah, Riyadh. Juga mengajar di Fakultas al-Lughah al-‘Arabiyah di Marakisy. Al-Adlabi lahir di Madinah pada tahun 1367 H/ 1948 M. Beliau mendapatkan gelar doktor di bidang Ulum al-Islamiyah wa al-Hadis di Dar al-Hadis dengan predikat Hasan jiddan pada tahun 1401 H/ 1980 M)[1]. Al-Adlabi merupakan ulama yang banyak memberikan pandangan terhadap permasalahan-permasalahan agama ditinjau dari prespektif hadis. Al-Adlabi kemudian lebih dikenal sebagai ulama yang memberi kontribusi besar dalam hal kritik matan hadis.
Sejarah ulum al-Hadis menunjukkan bahwa metode kritik matan pertama kali ditulis dalam karya tersendiri oleh Ibn al-Qayyim (w. 751 H/ 1350 M) dalam bukunya al-Manar al-Munif. Jadi sekitar 400 tahun setelah ulum al-Hadis berkembang. Meski demikian terdapat juga kitab sebelumnya yang secara sepintas menaruh perhatian pada kritik matan, seperti  kitab al-Ilal karya guru Imam Bukhari, Ibn Al-Madani. Namun kitab ini ternyata lebih fokus terhadap kritik sanad. Setelah itu disusul oleh az-Zarkasyi dengan karyanya al-Ijabah fi Ma istadrakathu as-Sayyidah Aisyah Ala as-Shahabah yang lebih bersifat praktis. Namun kedua karya itu sangat terbatas isinya bila dikaitkan dengan kebutuhan praktek kritik studi matan. Kemudian muncullah karya al-Adlabi, Manhaj Naqd al-matan inda Ulama al-Hadis an-Nabawi  (1403 H/ 1983). Buku yang membahas secara mendetail tentang kritik matan dibanding buku-buku lainnya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karya ini merupakan penilitan pertama yang relatif lengkap tentang metode kritik matan[2].
Berdasarkan itu, maka diketahui bahwa Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi termasuk ulama khalaf dalam perkembangan ulama hadis, yaitu ulama pada abad ke 19 M. Namun pengaruh yang diberikan oleh karya beliau ternyata cukup signifikan. Besarnya pengaruh karya al-Adlabi ini antara lain bisa dilihat dari munculnya karya-karya dengan topik yang sama di kemudian hari. Misalnya, karya Dr, Musfir Azmullah ad-Damini yang berjudul Maqayis Naqd Mutun as-Sunnah (1404 H/ 1984 M) dan karya Dr. Muhammad Thahir al-Jawabi yang berjudul Juhud al-Muhadditsun Fi Naqd Matn al-Hadis an-Nabawi as-Syarif (1406 H/ 1986 M). bahkan ada kemungkinan disertasi M. Syuhudi Ismail juga terinspirasi oleh karya al-Adlabi itu[3]. Karena sebelum M. Syuhudi Ismail membandingkan antara kritik sanad dalam penelitian hadis dan kritik ekstern dalam penelitian sejarah, al-Adlabi sudah lebih dahulu menyimpulkan bahwa kritik matan yang menjadi objek bahasannya itu sepadan dengan kritik intern menurut para sejarawan[4]. Lebih dari itu, setelah bermunculannya konsep kritik matan karena pengaruh karya al-Adlabi tersebut, ternyata terus memunculkan karya-karya tentang dalalah hadis yang bertumpu pada kritik matan. Misalnya, karya Syaikh Muhammad al-Ghazali yang berjudul as-Sunnah an-Nabawiyah Bain Ahl Fiqh wa Ahl al-Hadis yang sempat menghebohkan itu[5]. Berdasarkan pengaruh yang besar itu, maka tidak salah jika penulis menyatakan bahwa Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi, dengan karyanya Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulama al-Hadis an-Nabawi adalah bapak kritik matan yaitu orang yang pertama kali membahas kritik matan secara komperhensif dan lebih mendalam, sama dengan julukan bapak Maqashid as-Syari’ah yang diberikan kepada as-Syatibi dengan karyanya yang fenomenal dalam bidang ushul fiqh “al-Muwafaqat”[6]. Selain karya tersebut, al-Adlabi juga memiliki beberapa tulisan yang dimuat secara berkala dalam bentuk artikel-artikel atau tulisan lepas, di antaranya: Kasyf al-Ma’lum mimma summiya bi silsilah al-ahadits as-Shahih, Hadis la nikaha illa bi waliyyi riwayatan wa dirayatan, ‘Aqaida al-Asya’irah fi Hawari Hadi’I ma’a Syubhat al-Munawi’in, al-Bid’ah al-Mahmudah baina Syubhat al-Mani’in wa istidlalat al-Mujizin, wa tahdid al-Qiblah fi Syimal Amrika Radda bihi ‘ala al-Ahbasy, dan tulisan-tulisan lainnya[7].




[1] Majallah al-Ahmadiyah, Edisi ke-tiga, 1420 H, hlm. 95. Dalam tulisan lain terdapat tambahan berupa nama asli beliau Shalahuddin Ahmad al-Adlabi al-halabi. Beliau juga pernah mengunjungi kanada untuk daurah mengenai ulum al-hadis. Informasi lain menyatakan beliau bermazhab Syafi’iyah, namun beliau tidak fanatik terhadap mazhabnya, sehingga mazhabnya tidak mempengaruhi kajian hadis beliau. Guru yang berpengaruh atas keilmuan beliau adalah Syaikh Abd al-Fatah yaitu ulama yang terkenal sebagai orang yang membandingkan metode ulama mutaqaddimin dan ulama muta’akkhirin dalam penilitan kesahihan hadis. Informasi ini bisa dilihat di http://www.esnady.com/vb/showthread/
[2] Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, metode Kritik Matan Hadis, alih bahasa: Ahmad Musyafiq dkk, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2004), hlm. vi
[3] M. Syuhudi Ismail adalah pakar hadis yang memberikan kontribusi besar dalam perkembangan kritik sanad dan kritik intern untuk kritik matan di Indonesia, beberapa bukunya mengenai hadis menjadi pegangan hingga sekarang, dan buku yang menjadi master piece beliau adalah Kaedah Kesahehan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah.
[4] Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, metode Kritik Matan Hadis…, hlm, vii
[5] ibid
[6] Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas; Fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi maqâshid as-Syarî'ah dari konsep ke pendekatan, cet. Ke-1 (Yogyakarta, LKIS, 2010), hlm. 200
[7] http://www.esnady.com/vb/showthread/ akses pada, 23:18, 04-01-2013

Saturday, July 27, 2013

BIOGRAFI HAZAIRIN


Nama lengkapnya Prof. Dr. Hazairin Gelar Datuk Pengeran, S.H. Dilahirkan di Bukit Tinggi, Sumatra Barat pada tanggal 28 November 1906. Ayahnya Z. Buhari, berasal dari Bengkulu, dan kakeknya bernama A. Bakar, sedangkan ibunya bernama Rasidah berasal dari Minangkabau, etnis yang terkenal taat beragama.[1]
Ayah Hazairin adalah guru, sementara kakeknya A. Bakar adalah seorang mubalig dan tokoh agama terkenal pada zamannya, oleh karena itu, sejak kecil beliau tumbuh dalam lingkungan yang cinta kepada ilmu pengetahuan dan taat beragama, beliau tampil sebagai seorang ilmuan yang begitu intens terhadap nilai-nilai keagamaan.[2]
Awal pendidikan formalnya dimulai dari HIS (Hollands Inlandsche School) di Bengkulu dan tamat pada pada tahun 1920. Setelah tamat dari HIS, beliau kemudian melanjutkan ke MULO (Meer Uigebreid Loger Onderwijs) di Padang dan setelah itu melanjutkan ke AMS (Algement Middelbare School) di Bandung, dan tamat pada tahun 1927. Dari Bandung kemudian Hazairin pindah ke Batavia (Jakarta) dan melanjutkan pendidikannya di Rechts Hogheschool (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) dan meraih gelar sarjana pada tahun 1935. Pada 29 Mei 1936 beliau meraih gelar Doktor setelah berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul De Rejang, yaitu sebuah karya yang membahas adat istiadat Rejang di Bengkulu. Karya ini merupakan salah satu faktor yang mengantarkannya sebagai seorang ahli hukum adat.[3]
Namun di sisi lain, sebagai buah dari pendidikan agama yang beliau terima dari kakek dan ayahnya di waktu kecil, telah menimbulkan minat besar pada dirinya untuk mendalami ilmu agama, terutama dalam bidang ilmu fikih. Ketekunannya dalam melakukan telaah terhadap hukum Islam ini telah menghantarkannya menjadi seorang tokoh intelektual muslim, hal ini dibuktikannya dengan lahirnya beberapa karya dibidang ini, dan menjadi seorang ahli hukum Islam dan adat terkemuka di Indonesia.[4]
Dalam kehidupannya beliau memiliki karir pekerjaan diantaranya:
1.      Tahun 1935, menjadi asisten dari Prof. B. Teer Haar dalam bidang Hukum Adat dan Etnologi di UI.
2.      Tahun 1948-1942, menjadi PNS di Pengadilan Negeri Sidempuan dan Pegawai Penyidik Hukum Adat di Tapanuli Selatan.
3.      Tahun 1945-1946, menjadi ketua di Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan, merangkap ketua Komite Nasional Indonesia.
4.      Tahun1946, menjadi asisten Residen Sibolga, kemudian dipindahkan menjadi wakil Gubernur Militer Sumatra Selatan.
5.      Tahun 1948, Hazairin memulai karir politiknya ketika ia bergabung kedalam Partai Indonesia Raya. Lewat partai ini pula Hazairin menduduki jabatan Menteri Dalam Negeri pada kabinet Ali Sostromidjojo.
6.      Tahun 1950-1953, Hazairin menjabat kepala bagian hukum sipil kemeterian kehakiman RIS.
7.      Tahun 1950, disamping menjabat sebagai kepala bagian kementerian kehakiman RIS beliau juga menjadi dosen di UI sesuai dengan keahliannya dan sekaligus sebagai dosen Hukum Islam pada tempat yang sama.
8.      Tahun 1951, Hazairin mendirikan Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta (sekarang UI). Beliau dipercaya menjadi Rektor merangkap sebagai Dekan Fakultas Hukum di universitas tersebut sampai tahun 1968.
9.   Tahun 1952, Hazairin berhasil meraih puncak karirnya dalam dunia pendidikan dengan diangkatnya sebagai Guru Besar dalam bidang Hukum Adat dan Hukum Islam di UI.
10.  Tahun 1962-1975, Hazairin menjadi Ketua Majelis Ilmiah dan sekaligus anggota Dewan Kurator IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.[5]
Hazairin wafat pada tanggal 12 Desember 1975 di Jakarta dan dikebumikan dengan suatu upacara militer di taman makam pahlawan Kalibata, atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahkan kepadanya empat bintang diantaranya: Bintang Satya Kencana, Widya Sista, Bintang Gerilya dan Bhayangkara.[6]
Sebagai seorang pemikir muslim di Indonesia, Hazairin berpendapat bahwa negara dan bangsa Indonesia yang berfalsafat Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, hanya akan mencapai kebahagiaan, adil dan makmur apabila mendapatkan keridaan Tuhan yang Maha Esa. Keridaan Tuhan yang Maha Esa itu baru dapat diwujudkan bila hukum yang berlaku dan diperlakukan di Indonesia adalah syariat agama atau sekurang-kurangnya hukum yang tidak bertentangan dengan  syariat agama.[7]
Dari pemikiran di atas, Hazairin mengecam habis-habisan theorie receptie,[8] yang memandang bahwa hukum Islam yang berlaku di Indonesia adalah hukum Islam yang telah diterima oleh hukum adat, Hazairin menyebut teori ini sebagai “teori iblis”. Bahkan beliau dengan tegas menyatakan bahwa theorie receptie merupakan teori yang memusuhi berlakunya hukum Tuhan di bumi Indonesia.[9]
Berkaitan dengan upaya pembaruan hukum Islam di Indonesia, khususnya mengenai pembagian harta warisan, dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Sunnah, Hazairin berpendapat bahwa pada hakekatnya sistem kewarisan yang terkandung dalam al-Qur’an adalah sistem kewarisan yang bercorak bilateral yaitu sistem dimana setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal keturunan kepada ibu dan ayah.[10] Teorinya itu, meskipun bersumber dari al-Qur’an dan terinspirasi atas fenomena bentuk kemasyarakatan yang ada di Indonesia yang berdampak pada pembagian harta warisan, belum banyak dikenal dikalangan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut paham sunni, padahal teorinya ini merupakan sesuatu yang baru.
Sebagai seorang ilmuwan, Hazairin meninggalkan beberapa buku yang merupakan buah pemikirannya, di antaranya : Hadist Kewarisan dan Sistem Bilateral, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, Hendak Kemana Hukum Islam, Demokrasi Pancasila, Indonesia Satu Masjid, Pergolakan Penyesuaian Adat kepada Hukum Islam, dan Hukum Islam dan Masyrakat.[11]

Ditulis oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Yogyakarta, 28 Juli 2013

(Bagi para pembaca sekalian yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan harap sertakan nama penulis).



[1] Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam, (Djambatan, Jakarta, 1992), hlm 314-315.
[2] Ibid.
[3] Ensiklopedi Nasional, (Jakarta : PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), VI : 374.
[4] Ibid. 
[5] Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: DEPAG, 1993), hlm 358-359.
[6]Ensiklopedi Nasional, (Jakarta : PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), VI : 374.
[7] Ibid. 
[8]Konflik antara fikih kewarisan dan hukum adat masyarakat Indonesia, bukan semata-mata karena faktor “kesadaran hukum”. Campur tangan penguasa kolonial Belanda merupakan unsur penting yang tidak bisa dilepaskan. Sejak akhir abad kesembilan belas upaya pihak kolonial untuk merenggangkan umat Islam dari agamanya semakin digalakkan. Orientalis-orientalis Belanda berupaya menunjukkan bahwa hukum Islam berbeda dan terpisah dari hukum adat (dikenal dengan nama teori receptie). Mereka tidak mau mempertimbangkan bahwa fikih adalah aturan yang harus dilaksanakan umat Islam. Teori ini diambil alih menjadi politik hukum pemerintah kolonial Belanda melalui I.S. 1929: 221. Dalam pasal 134 ditemukan aturan yang maksudnya, fikih hanya diberlakukan oleh hakim agama Islam (pengadilan agama) sejauh dikehedaki oleh hukum adat masyarakat tersebut dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu peraturan. Sejak saat ini sengketa kewarisan antara umat Islam diselesaikan oleh pengadilan negeri berdasar hukum adat (baca: hukum yang bukan Islam). upaya untuk mengubah politik hukum ini telah diusahakan secara intensif oleh para ulama (organisasi umat islam), tetapi tidak berhasil sampai kemasa kemerdekaan. Lihat, Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, (Jakarta: INIS, 1998), hlm 32.
[9] Ibid. 
[10] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis (Jakarta : Tintamas, 1982), hlm 11.
[11] Ibid., hlm 315.

Tuesday, July 23, 2013

BIOGRAFI AMINA WADUD



Siapa yang tidak kenal dengan Amina Wadud. seorang tokoh Feminis di abad 21 ini telah memberikan sumbangan pemikirannya yang sangat kontrofersial. Banyak pemikiran-pemikiran beliau yang bertentangan dengan apa yang telah ada dan diyakini oleh para umat muslim di dunia. Tanpa berpanjang lebar lagi, berikut akan dipaparkan BIOGRAFI AMINA WADUD serta alur perjalanan hidupnya. 
Belum ada penulis yang membahas biografi Amina Wadud secara lengkap. Biografinya hanya memuat sedikitnya karya-karya ilmiah beliau yang sampai di Indonesia. Berkaitan dengan tempat kelahirannya, juga masih terjadi ketidakjelasan. Charlez Kurzman mencatat bahwa Amina Wadud dilahirkan di Amerika Serikat pada tahun 1952. Berbeda dengan apa yang dicatat oleh Indun Fanani bahwa Amina Wadud dilahirkan di Malaysia pada tahun 1952. Sejak kecil, ia gemar membaca. Meskipun demikian, ia tidak terlalu terpesona dengan cerita-cerita yang bertemakan “gadis yang diselamatkan” dan “laki-laki pemberani”. Tetapi ia terpesona dengan kata-kata yang mampu memberikan makna dan dimensi, kata-kata yang mampu memberikan (mempengaruhi) tujuan terhadap kehidupan pribadinya.
Pendidikan dasar hingga perguruan tingginya diselesaikan di Malaysia dan memperoleh gelar sarjana di Universitas Antar Bangsa. Pada tahun 1986, Amina Wadud memulai studi masternya di Michigan University dan diselesaikan pada tahun 1989. Saat ini, Amina Wadud adalah seorang profesor di Universitas Commonwealth di Richmond, Virginia. Selain itu, ia menjadi seorang peneliti dan dosen tamu pada sekolah Divinity Harvard sehingga kehidupannya banyak diwarnai dengan riset-riset pada almamaternya.
Sebagai seorang teolog dan aktivis, Amina Wadud telah melakukan kunjungan secara ekstensif, yang meliputi kunjungan secara Nasional maupun Internasional dalam lingkungan  akademis dan keagamaan. Karyanya yang berjudul Quran And Women: Rereading The Sacres Text From A Woman’s Perspektif  telah mengantarkannya sebagai seorang intelektual muslimah yang dikenal secara Internasional.
Sejak muda, Amina Wadud dikenal sebagai tokoh yang aktif di Non Goverment Organization (NGO/LSM) yang peduli secara intensif memperjuangkan hak-hak wanita, baik berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan, dan relasi-relasi yang lain. Keterlibatannya yang intensif dan keperduliannya yang jauh tersebut, telah membawa dampak pada dirinya sendiri, yaitu penokohan dan pembawa gerbong feminisme, karena ia penancap tembok bagi lahirnya feminisme baru di negaranya.
Amina Wadud juga aktif di organisasi ISTAC, sebuah organisasi yang bertujuan untuk menghidupkan kembali kajian Islam yang bersifat meta modern, yang dipimpin oleh Nuqaib Alatan. Organisasi ini kemudian dijadikan master plan oleh organisasi Konferensi Islam Alternatif (KIA). Selain itu ia juga menjabat sebagai anggota penasehat PMU (Progressive Muslim Union of North America) yang didanai oleh Kecia Ali, sebuah organisasi penelitian tentang program perempuan dalam kajian agama yang berada di Harvard Divinity School.
Sebagai seorang feminis yang berkecimpung dalam wacana pembahasan perempuan, Amina Wadud ingin mencoba mendobrak dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam segala hal. KeingInannya tersebut didasarkan atas asumsi bahwa al-Quran merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukkan laki-laki dan perempuan secara setara (equal).
Salah satu contoh adalah tindakan kontroversial yang dilakukan pada pertengahan maret 2005. Amina Wadud menjadi Imam sekaligus Khatib dalam shalat Jumat di Synod House at The Cathedral of St. John The Divine, salah satu gereja di Manhattan, New York, dan diakui oleh sekitar seratus orang jamaah laki-laki dan perempuan.
Adapun karya Amina Wadud yang merupakan master piecenya adalah Quran and Women: Rereading The Sacred Text From a Women’s Perspective. Karya monumentalnya ini merupakan satu-satunya karya yang menjelaskan pokok-pokok Pemikiran Amina Wadud tentang cara membaca (menafsirkan) ayat-ayat al-Quran, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah perempuan serta contoh-contoh aplikatif terhadap metodologi dan pendekatan yang digunakannya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Menurut Charles Kurzman, penelitian Amina Wadud tentang perempuan dalam al-Quran tersebut merupakan hasil kombinasi bacaan-bacaan tentang gender di dalam al-Quran dengan pengalaman kaum perempuan Afrika-Amerika untuk berpendapat bahwa perintah-perintah Islam harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan keadaan historis yang spesifik.
Amina Wadud menuturkan bahwa karyanya tersebut terwujud melalui dua tahap perkembangan. Pertama, ketika ia sedang menyelesaikan studi tingkat sarjana di Universitas Michigan antara tahun 1986-1989. Meskipun tidak mengalami banyak hambatan, namun proyek awal ini tidak mendapatkan dukungan antusias kecuali dukungan dari Dr. Alton Becker (Pete). Kedua, ketika ia datang ke Malaysia pada tahun 1989. Disini ia bertemu dengan Dr. Chandra Muzaffar yang kemudian banyak memberikan masukan-masukan kepadanya terhadap karyanya ini.
Selain telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1992 dan 2001, buku tersebut telah diterjmahkan ke dalam Bahasa Turki pada tahun 1997 dan Bahasa Arab pada tahun 1996. Karya Amina Wadud ini dipakai sebagai buku rujukan pada mata kuliah yang berhubungan dengan gender dan Islam serta Islam dan modernitas di berbagai Universitas di Barat.
Selain karyanya tersebut, ada juga artikel-artikel lainnya, semisal Quran and Women yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul al-Quran dan Perempuan. Artikel ini merupakan entery point dari karya master piece diatas. Artikel lainnya adalah In Search of a Women’s Voice in Quranic Hermeneutics. Artikel ini ditulis Amina Wadud dengan dua tujuan, yaitu pertama, menghadapi tantangan mainstream yang selama ini digunakan dalam diskursus Islam yang selalu memarjinalkan atau menolak manfaat dan keuntungan dari pendapat perempuan. Kedua, untuk memperluas potensi pemahaman pribadi di antara orang-orang Islam.


Yogyakarta, 24 Juli 2013
Ditulis oleh: Fikri Noor Al Mubarok

(Bagi pembaca yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan menyertakan nama penulis artikel berikut.)

Friday, July 19, 2013

BIOGRAFI HAMKA

BIOGRAFI HAMKA
Oleh: Fikri Noor Al Mubarok



Namanya adalah Abdul Malik, ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah. Dengan menggabungkan nama dirinya dan nama ayahnya, dia menyebut namanya sebagai Abdul Malik Karim Amrullah. Setelah dia pulang dari menunaikan ibadah haji tahun 1927, dia menambah gelar “Haji” didepan namanya, sehingga menjadi Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang kemudian disingkat sebagai Hamka. Dalam perjalanan hidupnya sejak pulang menunaikan ibadah haji sampai akhir hayatnya, nama singkatan Hamka itulah yang lebih populer dikenal masyarakat. Bahkan banyak warga masyarakat, di Indonesia maupun di tanah semenanjung melayu, yang mengenal Hamka secara personal ataupun lewat karya-karyanya, namun tidak mengetahui nama itu adalah akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.

Hamka dilahirkan pada tanggal 13 Muharram 1362 H, yang bertepatan dengan 16 Februari 1908 M, di kampung tanah sirah, termasuk daerah nagari (desa) sungai Batang, di tepi danau Maninjau yang permai.[1] Menurut pengakuan Hamka, berdasarkan cerita yang dia terima dari andung-nya (nenek), ketika dia lahir, ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah Berguman “sepuluh tahun”. Ketika ditanya apa makna sepuluh tahun itu, sang ayah menjawab: “sepuluh tahun dia akan dikirim ke mekkah, supaya dia kelak menjadi orang alim seperti aku pula, seperti neneknya, dan seperti nenek-neneknya yang dulu”.[2] Selama masa hidupnya, Hamka memiliki dua iklim yang mempengaruhi alam bahwa sadar beliau, yaitu tradisi keulamaan keluarganya dan gelora gerakan pembaharuan Islam di daerahnya.

Tahun-tahun ketika Hamka dilahirkan adalah tahun-tahun pergolakan agama di tanah minangkabau. Lahir suatu gerakan pembaruan Islam yang dikenal dengan gerakan Kaum Muda. Gerakan Kaum Muda ini kemudian membentuk organisasi Sumatra Thawalib yang dipelopori oleh empat serangkai: Syekh Taher Jalaluddin, Syekh Muhammad Jamil Jambek, H. Abdul Karim Amrullah, dan Haji Abdullah Ahmad.[3] Gerakan ini adalah gelombang gerakan kedua yang terdapat di Sumatera Barat setelah gerakan Padri.

Tahun 1914, Hamka mengawali belajarnya dengan belajar membaca al-Quran yang dibimbing oleh kakanya sendiri Fatimah. Tahun 1916, ayahnya memasukkan beliau ke sekolah desa yang masuk pagi, dan sekolah diniyah di pasar ujung padang panjang yang masuk sore. Pada malamnya Hamka diperintahkan ayahnya untuk belajar disurau bersama teman-temannya. Begitu masa kanak-kanak beliau yang membuatnya merasa terkekang dan akhirnya semasa kecilnya beliau dikenal sebagai anak yang nakal.[4] Pada tahun 1918, ayahnya memasukkan beliau ke sekolah Thawalib School dengan tujuan agar kelak ia bisa menjadi ulama seperti dirinya. Karena merasa tertekan oleh ayahnya beliau menjadi anak yang semakin nakal, dan puncak kenakalan beliau adalah ketika orang tuanya bercerai pada saat beliau berusia 12 tahun.[5] Akhirnya beliau memilih “lari” dari kehidupan ayahnya dengan merantau ke Jawa. Percobaan pelarian beliau yang pertama kali gagal karena beliau terserang penyakit cacar ditengah perjalanan. Barulah setelah pada tahun 1924, setelah mendapat restu dar ayahnya secara “terpaksa” dari ayahnya, Hamka berhasil mewujudkan niatnya.[6]

Selama masa mudanya Hamka merantau ke berbagai tempat, seperti Yogyakarta dan Pekalongan. Selain itu, ketika beliau merantau, beliau juga bertemu dengan para tokoh Islam, seperti Ja’far Amrullah , Ki Bagus Hadikusumo , H.O.S. Cokroaminoto, Suryapranoto, Haji Fachruddin, A.R. Sultan Mansyur (kaka ipar Hamka yang menikah dengan kakanya Fatimah), Usman Pujoutomo dan Iskandar Idris. Setelah lama merantau Hamka kembali ke tanah kelahirannya, namun kembalinya Hamka tidak direspon baik oleh ayah dan para masyarakatnya. Akhirnya pada tahun 1927, beliau ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu agama. Di sana Hamka bertemu dengan H. Agus Salim dan mendapat nasehat agar ia pulang ke tanah airnya. Seteleh itu, Hamka menuruti nasehat H. Agus salim dan kembali pulang ke tanah airnya.[7]

Selama hidup Hamka, beliau telah menghasilkan karya-karya yang sangat banyak. Diantaranya ada yang berupa artikel diberbagai majalah, surat kabar, dan buku-buku. Antara lain:
1.   Karya-karya beliau telah termaktub di beberapa majalah, seperti Pelita Andalas (terbit di Medan), Kemauan Zaman (Padang Panjang), Pembela Islam (Bandung), dan Suara Muhammadiyah (Yogyakarta).
2.      Tarikh Sayidina Abu Bakar (1929).
3.      Ringkasan Tarikh Islam (1929).
4.      Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929).
5.  Tafsir al-Azhar. Tafsir al-azhar ini adalah tafsir bi al-ma’tsur. Tafsir ini disusun dengan menggunakan pola tahlili. Tafsir ini juga termasuk dalam tafsir corak tafsir adabi al-ijtima’i.
Perlu dicatat bahwa Hamka memiliki corak pemikiran yang khas. Pertama, sebagaimana sudah dijelaskan bahwa Hamka lahir dalam suatu keluarga dan dibesarkan dalam lingkungan yang menganut orientasi kegamaan yang berhaluan modernis. Kedua, dari karya-karya tulis bidang keagamaan terlihat bahwa minat utama Hamka adalah pada bidang akhlak-tasawwuf dan akidah, dia sangat sedikit memasuki wilayah pemikiran dalam bidang fiqh.

         Hamka menghembuskan nafas terakhirnya tepat pada pukul 10.41, hari Jumat tanggal 24 Juni 1981, dalam usia 73 tahun lima bulan.[8] Karya-karya beliau selama hidupnya telah menjadi saksi atas kapasitas beliau sebagai seorang ulama, ahli sastra, dan sejarawan. Dua bidang yang disebut pertama telah mendapat pengakuan resmi daria lembaga pendidikan tinggi di dunia Islam. Pada bulan Mei 1959, Majelis Tinggi Universitas Kairo memberikan gelar Doktor Honoris Causa (Ustadziyah Fakriyyah) kepada Hamka atas jasanya dalam pengembangan studi keIslaman. Kemudian pada tanggal 6 Juli 1974, Universitas Kebangsaan Malaysia memberikan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang kesusastraaan kepada Hamka.[9] Dua gelar yang diterima tersebut diterima beliau ketika beliau tidak memiliki kedudukan politis apapun di negerinya.

Yogyakarta, 14 Mei 2013

(Bagi para pengunjung yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan sertakan nama penulis pada tulisan anda)


[1] Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), I:9.
[2] Ibid.
[3] Syekh Abdul Karim menyebutkan kata neneknya karena latar belakang kehidupan beliau yang sistem kekeluargaanya menggunakan sistem matrilinial (penarikan garis keturunan dari pihak si Ibu). Untuk informasi yang lebih luas tentang gerakan kaum muda dan Sumatra Thawalib lihat B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama Di Sumatera Barat: Sebuah Sumbangan Bibilografi, terj. Soegarda Poebakawatja, (Jakarta: Bharata, 1973), hlm 30 dst., Baharuddin Daya, Gerakan Pembaruan Islam: Kasus Sumatra Thawalib, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990).
[4] Hamka., Kenangan…, hlm 24.
[5] Ibid., hlm 44.
[6] Ibid., hlm 84-90.
[7] Rusdi Hamka, Pribadi Dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), hlm 3.
[8] Ibid., hlm 206.
[9] Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1977), hlm 8.